Positif COVID-19 Terbanyak Ada di AS, Kecerobohan Trump Sebabnya.

Amerika Serikat jadi negara dengan jumlah positif Corona COVID-19 terbanyak di dunia. Salah satu penyebabnya adalah sikap acuh presiden mereka.


Amerika Serikat menjadi negara terparah yang terpapar pandemi COVID-19. Angka penderitanya melebihi negara manapun di dunia, termasuk Cina dan Italia. Per Sabtu (23/3/2020) kemarin, sudah ada lebih dari 103 ribu kasus positif.

Lonjakan pasien rawat inap terjadi di sejumlah kota seperti New York dan New Orleans, sementara staf medis, tempat tidur, dan fasilitas kesehatan seperti ventilator dan masker terbatas. Dampaknya tak main-main, angka kematian terus bertambah hingga lebih dari 1.600 per Sabtu kemarin.

"Skenario apa pun yang realistis sekarang akan tetap memberatkan kapasitas sistem perawatan kesehatan kita," kata Gubernur New York Andrew Cuomo yang nampak frustasi dalam konferensi pers. Cuomo mengatakan masalah utama yang dihadapi salah satu negara bagian terbesar di AS itu adalah kurangnya ventilator alias alat bantu nafas. "Bukannya mereka ada di gudang dan tinggal ambil, tapi sama sekali tidak ada stok yang tersedia."

Kengerian karena kurangnya fasilitas itu direkam dokter Collen Smith dengan ponsel dari Elmhurst Hospital, New York City, rumah sakit yang dijadikan pusat perawatan pandemik COVID-19 di AS. Angka antrean di rumah sakit itu naik seratus persen dari 200-an orang pada 24 Maret menajdi lebih dari 400-an orang sehari kemudian.

"Kami sekarang sedang berusaha berebut beberapa ventilator tambahan, atau bahkan mesin CPAP. Kalau samapai bisa dapat mesin CPAP, kami bisa pakai untuk pasien yang membutuhkan ventilator."

Rumah sakit ini sempat dapat bantuan ventilator dari rumah sakit lain hari itu juga, yang kata Smith adalah suplai darurat ketiga dalam seminggu terakhir.

"Yang paling bikin frustasi dari semua ini adalah semuanya terasa sedikit sudah terlambat. Kayak, kita sebetulnya tahu kalau bakal begini kejadiannya," katanya. "Pemimpin dari presiden sampai kepala-kepala rumah sakit bilang kalau kita akan baik-baik saja. Semuanya baik-baik saja. Dan dari perspektif kami (petugas media), semuanya tidak baik-baik saja. Saya tidak punya semua bantuan yang saya butuhkan, dan bahkan meterial yang dibutuhkan fisiknya untuk merawat pasien saya."

Tiga minggu sebelumnya, Gubernur Andrew Cuomo sempat mengingatkan Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) agar mewaspadai penyebaran COVID-19. Cuomo meminta CDC untuk 'bangun'. Jangan sampai Amerika separah Italia, katanya. Waktu itu, angka kasus positif masih relatif kecil dibandingkan negara-negara lain.

Oleh karena itu pemerintah harus menyediakan tes massal secepat mungkin, dan mulai memikirkan opsi karantina. Ia juga meminta pemerintah membuka sebanyak-banyaknya laboratorium swasta macam Northwell Lab, New York, yang dapat melakukan seribu sampai dua ribu tes per hari.

Setidaknya ada tujuh laboratorium, termasuk Northwell Lab, yang bisa melakukan tes COVID-19 di seluruh AS, kata Cuomo. Ia menyayangkan lambannya pemerintah mengizinkan laboratorium-laboratorium itu untuk melakukan tes. Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA)  AS akhirnya mengizinkan Northwell Lab untuk melakukan tes COVID-19.

Trump yang Meremehkan COVID-19

Lambannya sikap pemerintahan Donald Trump menghadapi COVID-19 bukan cuma tergambar dari leletnya kebijakan-kebijakan penanganan yang mereka keluarkan. Sejak virus ini merebak Desember lalu di Wuhan, Cina, Trump cenderung menyepelekannya.

Pada 28 Februari lalu, misalnya Trump menyebut virus Corona jenis baru ini akan hilang seperti mujizat. Ia juga sempat berspekulasi bahwa cuaca panas akan membunuh virus ini dan menghentikan penyebarannya. tak satu pun klaim itu berdasarkan penelitian, atau pendapat ahli dalam pemerintahannya.

Dalam wawancara dengan Fox News, 4 Maret lalu, Trump mengeluarkan pernyataan terkait angka kematian akibat COVID-19. Pernyataan ini tidak berdasarkan keterangan para ahli, tapi cuma atas dasar firasat.

Dalam laporan berjudul Kesalahan Manajemen Trump Membantu Memicu Krisis Virus Corona, 13 staf dan bekas staf Trump di Gedung Putih yang dirahasiakan identitasnya, menyimpulkan kebanyakan kebijakan penanganan COVID-19 di AS yang buruk berasal dari kekhawatiran Trump sendiri tentang dampak ekonomi yang diakibatkan virus ini.

Pada masa awal wabah ini menyeruak, trump tampak terlalu fokus ingin angka kasus positif dan kematian di AS tetap kecil yang menurutnya bisa menjaga perekonomian AS. Sayangnya, Trump terlambat sadar bahwa keputusan itu salah.

Sejak Senin, 16 Maret kemarin, Trump tampak lebih serius lagi menghadapi wabah COVID-19. "Ini buruk. Ini buruk," kata Trump saat meluncurkan rencana 15 hari menurunkan kurva infeksi baru dalam konferensi pers. "Masing-masing dari kita punya peran penting untuk menghentikan penyebaran dan penularan virus."

Salah satu yang dilakukannya adalah menghubungi Cina untuk menjalin hubungan bilateral menangani COVID-19 di AS, Jumat kemarin, 27 Maret, Trump membahas hal ini dengan Xi Jinping lewat telepon.


Namun, seperti biasa, Trump sama sekali tak mau disalahkan. Sebelum telepon bilateral itu terjadi, Trump melimpahkan kesalahan terjadinya wabah COVID-19 yang menyerang seluruh dunia pada CIna dan Xi Jinping. Apa yang terjadi di dunia saat ini, menurut Trump, merupakan imbas dari ketidakterbukaan Cina selama menangani wabah.

Menurutnya, jika Cina lebih terbuka, AS dan negara-negara lain dapat mempersiapkan diri lebih awal.


Namun, menurut Xi Jinping dalam sambungan telepon itu, Cina telah sangat transparan tentang epidemi yang telah menginfeksi lebih dari 80 ribu warganya ini.

Setelah telepon itu, Trump menciut di Twitternya. "Cina telah melalui banyak hal dan telah mengembangkan banyak pengetahuan tentang virus ini. Kami bekerja sama dengan erat. Sangat hormat!"=>SitusJudiOnline<=









Komentar

Postingan Populer